SRIKANDI dalam Ekosistem Digital Pemerintah: Integrasi, Monitoring, dan 'Rapor Merah' Bagi yang Abai

 


Aplikasi SRIKANDI bukanlah sebuah pulau yang berdiri sendiri. Ia dirancang untuk menjadi bagian vital dari sebuah "ekosistem" digital yang lebih besar, yaitu Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Artinya, penerapan SRIKANDI tidak berhenti saat aplikasi berhasil diinstal dan digunakan, melainkan terus berlanjut dalam proses integrasi, pemantauan, dan evaluasi yang akan menentukan "rapor" kinerja sebuah instansi.

Peraturan ANRI Nomor 4 Tahun 2021 secara tegas memposisikan SRIKANDI bukan hanya sebagai alat kearsipan, tetapi sebagai komponen strategis dalam modernisasi birokrasi. Mari kita bedah bagaimana aplikasi ini hidup dalam ekosistem digital pemerintah dan apa konsekuensinya bagi instansi yang serius maupun yang abai dalam menerapkannya.


🌐 Integrasi: Menghubungkan Kearsipan dengan Layanan Lain

Sebagai aplikasi umum bidang kearsipan dinamis, SRIKANDI dikembangkan untuk dapat diintegrasikan dengan aplikasi umum lainnya yang digunakan oleh instansi pemerintah. Proses ini disebut Integrasi Layanan SPBE, yaitu proses menghubungkan dan menyatukan beberapa layanan elektronik ke dalam satu alur kerja yang padu.

Tujuannya adalah agar penciptaan arsip atau informasi di berbagai layanan—baik itu layanan pendidikan, kesehatan, perbankan, maupun sektor strategis lainnya—dapat terjamin keautentikan, keutuhan, dan keterpercayaannya sejak awal. Dengan kata lain, SRIKANDI berfungsi sebagai "hub" atau simpul kearsipan yang memastikan semua data dan dokumen dari berbagai aplikasi lain terekam dengan benar sesuai kaidah kearsipan.


📊 Monitoring dan Evaluasi: Kinerja Selalu dalam Pantauan ANRI

Penerapan SRIKANDI bukanlah proyek "sekali jadi, lalu lupakan". Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) secara aktif dan berkelanjutan melaksanakan monitoring dan evaluasi untuk menjamin keberhasilan implementasinya di seluruh lembaga negara dan pemerintah daerah.

Tujuannya adalah untuk mengukur sejauh mana pemanfaatan SRIKANDI dalam pengelolaan arsip dinamis dan mengidentifikasi area yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Proses ini dilakukan melalui berbagai saluran komunikasi, baik secara berkala maupun insidentil. Untuk mendukung proses ini, ANRI juga menyediakan layanan helpdesk Nasional SRIKANDI sebagai jembatan untuk memecahkan masalah yang dihadapi pengguna di lapangan.


📝 Konsekuensi: Antara 'Rapor Merah' dan Penghargaan

Inilah bagian yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam penerapan SRIKANDI. Hasil dari monitoring dan evaluasi akan membawa konsekuensi langsung bagi instansi, baik positif maupun negatif.

  • 'Rapor Merah' bagi yang Abai: Peraturan ANRI dengan tegas menyatakan bahwa lembaga negara dan pemerintah daerah yang tidak menggunakan SRIKANDI akan menjadi catatan khusus dalam penilaian kearsipan nasional. Ini ibarat mendapatkan "rapor merah" atau catatan minus dalam evaluasi kinerja kearsipan instansi, yang tentu akan berdampak pada citra dan penilaian keseluruhan.

  • Penghargaan bagi yang Konsisten: Sebaliknya, bagi instansi yang menerapkan SRIKANDI secara konsisten dan berkesinambungan, mereka dapat diusulkan untuk meraih penghargaan pemerintah. Ini adalah bentuk apresiasi dan insentif bagi instansi yang berkomitmen penuh terhadap transformasi digital.

Laporan pelaksanaan penerapan SRIKANDI ini bahkan disampaikan oleh ANRI kepada Presiden Republik Indonesia melalui menteri yang berwenang.


Penutup: Keseriusan Menuju Tata Kelola Digital

Posisi SRIKANDI dalam ekosistem digital pemerintah, lengkap dengan mekanisme monitoring dan konsekuensinya, mengirimkan pesan yang sangat jelas: transformasi digital kearsipan bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Dengan adanya sistem "reward and punishment" ini, pemerintah mendorong seluruh instansi untuk tidak hanya mengadopsi teknologi, tetapi juga berkomitmen penuh untuk menjadi bagian dari sebuah tata kelola pemerintahan yang terintegrasi, akuntabel, dan modern.