Latihan Militer Super Garuda Shield Terbesar di Indonesia
Di tengah meningkatnya ketegangan di wilayah Laut Cina Selatan dan perselisihan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, sekitar 6.500 prajurit dari Indonesia, Amerika Serikat, serta negara mitra mengadakan latihan militer bersama dalam upaya mencegah konflik di kawasan tersebut.

Indonesia dan Amerika Serikat memulai latihan militer bersama pada Senin (25/8). Latihan tersebut akan berlangsung hingga 4 September mendatang. Latihan ini melibatkan 11 negara lainnya, yaituAustralia, Kanada, Inggris, Jepang, Brasil, Korea Selatan, Belanda, Selandia Baru, Singapura, dan Prancis.
Sementara India, Jerman, Papua Nugini, Timor Leste, dan Kamboja juga ikut sebagai pengamat.
Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita mengatakan latihan ini bertujuan untuk memperkuat hubungan regional dalam situasi global yang semakin tidak pasti, "Ini adalah latihan bersama di mana kita bersatu"menanggapi setiap tantangan secara cepat dan akurat," jelasnya dalam pidato pembukaan bersama Laksama Amerika Serikat, Samuel Paparo, komandan Komando Indo-Pasifik.
Latihan ini diikuti sekitar 6.500 peserta, termasuk sekitar 4.100 prajurit Indonesia, 1.300 tentara Amerika Serikat, serta pasukan dari negara lain. Latihan akan dilaksanakan di Jakarta, Bogor, Sumatera Selatan, dan Riau.
Samuel Paparo menyebut latihan tahun ini sebagai "latihan militer terbesar dalam sejarah", serta menegaskan bahwa pelatihan ini akan memperkuat kemampuan negara-negara peserta dalam mencegah konflik di wilayah tersebut.
"Latihan ini bertujuan mencegah siapa pun yang ingin mengubah fakta di lapangan melalui kekerasan, serta menyatukan komitmen bersama untuk menjaga prinsip kedaulatan," ujar Paparo dalam upacara pembukaan pada Senin (25/8) di Jakarta.
AS dan sejumlah negara aliansi seperti Australia menyampaikan kekhawatiran terkait sikap agresif Tiongkok di Pasifik, meskipun demikian Washington menyangkal dugaan bahwa latihan militer ini ditujukan kepada Beijing.
Paparo menekankan pentingnya latihan dan pengembangan kemampuan secara terus-menerus, "Kami meningkatkan kemampuan di berbagai bidang... Jika konflik tidak bisa dihindari, mitra dapat saling terhubung dan bertindak cepat dengan kepercayaan yang telah dibangun sebelumnya."
Latihan militer tersebut meliputi pelatihan personel, simulasi pertahanan siber, serta latihan menembak langsung.
Latihan militer ini juga menimbulkan kekhawatiran dari Tiongkok, yang mengklaim Amerika Serikat berupaya menciptakan "NATO Asia" guna membatasi pengaruh militer dan diplomatik Tiongkok yang semakin besar di kawasan tersebut.
Diplomasi jalur ganda
Menteri Pertahanan Amerika Serikat Pete Hegseth dalam pidatinya pada ajang Shangri-La Dialogue di Singapura akhir Mei 2025 menegaskan bahwa meminta dukungan militer AS sementara bersamaan dengan ketergantungan pada dukungan ekonomi Tiongkok menimbulkan risiko strategis.
Hegseth menegaskan bahwa Washington memperkuat kemitraan militer di kawasan Indo-Pasifik guna 'menenangkan' para sekutu yang khawatir terhadap tekanan militer dan ekonomi Tiongkok serta tindakan provokatif di Laut Cina Selatan yang sedang diperebutkan.
Meskipun kegiatan kapal penjaga pantai dan kapal nelayan Tiongkok di kawasan tersebut juga mengganggu Indonesia, Jakarta tetap berupaya menghindari konfrontasi dan memilih untuk terus melanjutkan inisiatif ekonomi bersama Tiongkok.
Indonesia yang memilih menghindari konflik dan menyelesaikan 'perselisihan' dengan Beijing secara rahasia, berkaitan erat dengan besarnya perdagangan dan investasi Tiongkok terhadap perekonomian Indonesia, menurut Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Yeta Purnama, para peneliti di Pusat Studi Ekonomi dan Hukum atau CELIOS.
Para peneliti CELIOS menggambarkan pendekatan Indonesia sebagai diplomasi dua arah. "Diplomasi dua arah ini mungkin terlihat tidak konsisten. Namun bagi Jakarta, hal ini bersifat strategis. Indonesia melakukan diversifikasi pertahanan bukan aliansi," ujar Rakhmat dari CELIOS.
Diversifikasi pertahanan ini tampak dari komitmen Indonesia dalam latihan militer bersama bernama Super Garuda Shield, pembelian senjata dari Amerika Serikat dan Prancis, serta meningkatkan kemampuan interoperabilitas (pertukaran informasi).
"Indonesia yang menolak untuk memihak, setidaknya dalam hal pertahanan di tengah ketegangan dan persaingan yang semakin meningkat di kawasan mungkin menjadi kekuatan terbesarnya," ujar Rakhmat.
Editor : Yuniman Farid
ind:content_author: Kurang lebih Caroline (AP, AFP, CNA)
Posting Komentar