ZMedia Purwodadi

Ssst... Ini Dia Asal Usul Pemekaran Wilayah Tidore!

Table of Contents
Ssst... Ini Dia Asal Usul Pemekaran Wilayah Tidore!

Arsiparis.web.id- Tidore. Nama ini tidak hanya sekadar daerah di peta Maluku Utara, tetapi juga menceritakan kisah panjang mengenai peradaban, kekuasaan, serta perubahan administratif yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Sejak dulu, wilayah ini telah menyimpan kisah-kisah epik yang jarang dibicarakan secara terbuka. Padahal, jika diteliti lebih mendalam, sejarah pembentukan wilayah Tidore adalah cerita yang penuh dengan berbagai tantangan, kebijakan strategis, serta gelombang aspirasi masyarakat yang sangat nyata.

Sebagai bagian penting dari kepulauan rempah-rempah, Tidore pernah mengalami masa kejayaan sebagai sebuah kesultanan yang dihormati. Dari masa pengaruh agama Islam, persaingan antar kerajaan, hingga era kolonialisme, wilayah ini terus mengalami perubahan dalam aspek sosial dan politik. Namun kisahnya tidak berakhir di situ. Pemekaran wilayah, baik secara administratif maupun pengaruh wilayah, menjadikan Tidore sebagai contoh khusus dalam studi otonomi daerah di Indonesia Timur.

Kini, di tengah era 2020-an, pemekaran wilayah bukan lagi sekadar masalah batas wilayah. Ia berubah menjadi perdebatan mengenai keadilan anggaran, penyebaran pembangunan, serta identitas kolektif masyarakat Tidore dan sekitarnya. Pembaca, bersiaplah untuk menjelajahi kisah menarik dan mendalam tentang bagaimana Tidore berkembang dan berubah dari masa ke masa.

Sejarah Pemekaran Wilayah Tidore

Dari Kesultanan Menuju Bentuk Administrasi Modern

Tidore berasal dari sebuah entitas politik yang kuat, yaitu Kesultanan Tidore. Berdasarkan tradisi setempat, kerajaan ini mulai terbentuk sejak abad ke-11 dengan sistem pemerintahan yang sudah memiliki struktur kekuasaan yang teratur. Kesultanan ini tidak hanya menguasai Pulau Tidore, tetapi juga wilayah sekitar seperti bagian dari Halmahera Selatan, Pulau Buru, Seram, bahkan memiliki pengaruh politik hingga ke daerah pesisir Papua. Semua hal ini terjadi pada masa puncak perdagangan rempah, di mana Tidore menjadi aktor utama.

Dengan masuknya pengaruh kolonial Eropa seperti Portugis dan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore mengalami pengurangan. Strategi pecah belah yang diterapkan oleh pihak kolonial memicu persaingan antar kerajaan, termasuk dengan saingan lama mereka yaitu Ternate. Pada masa ini, pembagian wilayah tidak lagi sepenuhnya dipegang oleh masyarakat setempat, melainkan berada di bawah kendali kekuatan asing yang menentukan batas kekuasaan sesuai dengan kepentingan perdagangan mereka.

Setelah Indonesia merdeka, keadaan Tidore kembali mengalami perubahan. Kali ini, Tidore tidak lagi berstatus sebagai kesultanan, tetapi menjadi bagian dari struktur negara kesatuan. Pada tahap ini, pembagian wilayah mulai ditujukan untuk kepentingan administratif, pelayanan masyarakat, dan efisiensi pemerintahan setempat. Tidore kemudian masuk dalam sistem otonomi daerah, yang memicu perubahan signifikan dalam bentuk kecamatan, kelurahan, dan desa.

Munculnya Desa Baru Berdasarkan Aspirasi Masyarakat

Salah satu contoh nyata dari pembagian administratif di wilayah ini adalah terbentuknya Kelurahan Rum Balibunga. Pada awalnya, wilayah tersebut merupakan bagian dari Kelurahan Rum sebagai induk administratif. Namun, keinginan masyarakat di lingkungan III Rum Tua terus berkembang. Mereka merasa bahwa pelayanan publik belum optimal dan jarak administratif menjadi hambatan.

Berdasarkan hal tersebut, usulan pembentukan wilayah baru mulai disusun. Data penduduk memadai, fasilitas dasar telah tersedia, dan yang paling penting masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam proses verifikasi wilayah. Akhirnya, pemekaran ini diresmikan melalui peraturan daerah pada tahun 2007, sehingga Rum Balibunga menjadi kelurahan mandiri yang kini terus berkembang.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa pembagian wilayah bukan hanya keputusan dari para elit atau pemerintah, tetapi juga hasil dari kolaborasi antara harapan masyarakat dan keberanian birokrasi dalam menghadapi kondisi nyata di lapangan. Hal ini mencerminkan semangat otonomi yang tidak hanya bersifat formal, tetapi juga berfungsi secara nyata.

Pergeseran Ibu Kota Pemerintah dan Perdebatan DOB

Salah satu peristiwa penting dalam perkembangan wilayah Tidore terjadi ketika pemerintah mengambil keputusan untuk memindahkan ibu kota Provinsi Maluku Utara dari Ternate ke Sofifi. Sofifi terletak di daratan Halmahera, khususnya di Kecamatan Oba Utara yang secara administratif termasuk dalam Kota Tidore Kepulauan.

Keputusan tersebut memicu perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk mengenai kesiapan infrastruktur serta kemungkinan terganggunya hubungan budaya antara pusat pemerintahan dengan masyarakat Pulau Tidore. Bahkan sempat muncul wacana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) untuk wilayah Sofifi agar lebih mandiri dalam mengelola anggaran dan pembangunan.

Namun, Wali Kota Tidore Kepulauan secara tegas menyatakan bahwa pemekaran dalam bentuk DOB belum tentu menjadi solusi terbaik. Sebaliknya, pemerintah kota berupaya untuk menyebarluaskan pembangunan secara merata di berbagai wilayah. Dalam pelaksanaannya, anggaran daerah justru lebih besar dialokasikan ke wilayah Oba, sekitar 60 persen, dibandingkan Pulau Tidore yang hanya mendapat 40 persen. Ini merupakan strategi agar ketimpangan pembangunan dapat diminimalkan tanpa perlu melakukan pemekaran wilayah secara resmi.

Informasi Terbaru Mengenai Bentuk Wilayah Tidore

Saat ini, Kabupaten Tidore Kepulauan terbagi menjadi delapan kecamatan. Empat di antaranya terletak di Pulau Tidore dan sekitarnya, sedangkan empat lainnya berada di kawasan Oba yang mencakup sebagian wilayah Halmahera. Wilayah administratif ini juga mencakup beberapa pulau kecil seperti Mare, Maitara, dan Filonga. Data terbaru mengenai jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2024 diperkirakan mencapai lebih dari 120 ribu jiwa, yang sebarannya cukup merata antara wilayah pulau dan daratan.

Pembentukan kecamatan dan kelurahan baru masih menjadi topik yang sering dibahas dalam perencanaan kota, terutama akibat kondisi geografis yang menyulitkan akses langsung terhadap layanan publik. Wilayah seperti Pulau Mare dan Maitara, meskipun ukurannya kecil, memiliki kebutuhan infrastruktur yang cukup rumit karena transportasi laut menjadi satu-satunya jalur utama. Pemerintah kota mulai mengidentifikasi potensi kebutuhan wilayah-wilayah ini sebagai bahan pertimbangan untuk pemekaran di masa depan.

Isu lain yang kini menjadi perhatian utama adalah bagaimana memastikan setiap daerah menerima alokasi anggaran yang seimbang. Pemerintah telah berupaya memberikan prioritas pembangunan di wilayah-wilayah yang selama ini tertinggal secara geografis maupun administratif. Tindakan ini juga dapat dianggap sebagai proses pemekaran secara tidak langsung, tanpa perlu mengubah struktur administratif secara hukum.

Pandangan Baru dalam Dinamika Wilayah Tidore

Tidore, yang dahulu terkenal karena rempah dan kekuasaan kesultanan, kini sedang memasuki era baru sebagai kota kepulauan dengan tantangan otonomi yang tidak kurang rumit. Proses pembagian wilayah yang terjadi, baik melalui pembentukan kelurahan baru maupun penataan ulang anggaran, menunjukkan bahwa kebijakan publik perlu fleksibel menghadapi kebutuhan masyarakat di tingkat bawah.

Pemerintah daerah telah membuktikan bahwa pemekaran tidak selalu berarti memisahkan wilayah, tetapi juga bisa menjadi langkah untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan memperkuat akses layanan publik. Sofifi yang kini menjadi pusat pemerintahan provinsi menjadi simbol perubahan wajah Tidore secara geopolitik. Sementara itu, pembentukan kelurahan baru seperti Rum Balibunga mencerminkan suara masyarakat yang diakui dan diwujudkan.

Di masa depan, arah pembagian wilayah Tidore sebaiknya tidak hanya dilihat dari peta administratif saja, tetapi juga bagaimana layanan dapat mencapai masyarakat yang paling terpencil, bagaimana identitas lokal tetap terjaga, serta bagaimana seluruh komponen saling bekerja sama untuk menciptakan wilayah yang inklusif, efisien, dan bermartabat.

Dari sejarah panjang kerajaan hingga wacana pembagian wilayah modern, Tidore menunjukkan dinamika yang luar biasa dalam pengelolaan daerahnya. Bukan hanya tentang batas-batas wilayah, tetapi bagaimana aspirasi masyarakat, kebijakan lokal, dan tantangan geografis saling berpadu dalam sebuah proses panjang yang menentukan masa depan. Jika ada satu pelajaran yang bisa kita ambil, maka itu adalah bahwa pemekaran yang sejati bukan hanya sekadar memperluas wilayah, melainkan memperluas kesetaraan dan akses bagi seluruh penduduknya.  *** (Gilang)

Posting Komentar